MY BLOG

A m a t e u r B l o g Y a n g d i K e m b a n g k a n S e c a r a K e t i d a k S e n g a j a a n radiradintan@yahoo.com

Selasa, 14 Desember 2010

TUGAS MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

*tugas nomor 1 : Hubungan sosial masyarakat dalam ilmu IT


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah swt atas segala nikmat dan karunia-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah saw, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Amin.

Atas kehendak Allah S.W.T penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah system politik Indonesia yaitu membuat makalah tentang sejarah komunis dalam politik Indonesia. Makalah ini dibuat bukan di maksudkan untuk menyebarkan ideology komunis namun hanya sebagai pembelajaran bersama dan mengapa komunis di larang di Indonesia.

Semoga karya tulis yang penulis buat dapat memberikan manfaat bagi pembaca yang baik, karya yang dibuat manusia sangat jelas mempunyai dan memiliki kekurangan dan kesalahan dengan ini penulis meminta sumbang saran agar dapat menyempurnakan karya tulis ini.

Wassalamualaikum

Jakarta, 14 Desember 2010


penulis


DAFTAR ISI

I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………………

1.2 Pembahasan masalah………………………………………………………………

II. Pembahasan

1.1. teknologi informasi dan citra pendidikan………………………………………..

1.2. keruntuhan citra pendidikan………………………………………….

1.3. memanfaatkan budaya popular…………………………………………….

III. Penutup

1.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………

1.2 Saran………………………………………………………………………….

Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sebagai basis pendidikan massal paling efektif, tayangan televisi, film dan penggunaan internet memiliki peluang untuk mengubah tatanan budaya bangsa yang dikenal santun dan beradab ke arah yang kurang beradab dan tak mengenal tata krama. Dighe (2000) mengisyaratkan baik konten maupun rancangan program tayangan dalam bentuk film, video, dan musik bisa jadi merupakan manifestasi dan justifikasi superioritas budaya tertentu yang belum tentu semuanya baik. Hasil riset menunjukkan dampak tayangan televisi, film, dan penyebaran video porno melalui internet juga menambah terjadinya praktik kekerasan, mistisisme, dan hura-hura ala sinetron. Dapat dibayangkan betapa berat dan sulitnya para guru dan orang tua untuk berlomba kreativitas dengan tayangan elektronik ini. Karena itulah, beberapa hasil riset tentang kekhawatiran pengaruh tayangan berbasis teknologi informasi terhadap pendidikan merekomendasikan langkah-langkah metodologis proses belajar-mengajar agar menggunakan pendekatan holistik, pro-active social skills seperti resolusi konflik dan metode cooperative learning. Jika hal itu lalai dibangun, keruntuhan citra pendidikan di Indonesia akan semakin menjadi-jadi; tidak hanya kerusakan di bidang akademis, tetapi dalam waktu bersamaan juga terjadi kerusakan moral secara masif.

1.2 PEMBAHASAN MASALAH

Kebudayaan teknologi informatika tentang masalah yang terungkapkan pada saat ini, melalui media, maupun elektronik. Bagaimana cara mencegah semua ini dan mungkin yang sudah terlanjur ini, biasakah kita semua menanggulangi masalah ini. Semua berita terkait di makalah ini,.

BAB II

PEMBAHASAN

1.1. Teknologi Informasi dan Citra Pendidikan

DUA PERNYATAAN penting yang sedikit terlihat kalut ditunjukkan Mendiknas dalam menanggapi tersebarnya video porno artis hingga ke ujung negeri. Pertama, Mendiknas tak setuju dengan pendidikan seks dan, kedua, meminta kepada semua kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk setiap saat merazia isi telepon seluler para siswa karena khawatir dengan penyebaran video porno. Jelas sekali kedua pernyataan tersebut memperlihatkan jenis pendekatan yang reaktif seorang menteri ketimbang proaktif. Di tengah ketidakmampuan birokrasi dan para guru kita dalam mendesain dan mengajarkan dokumen tertulis kurikulum secara benar, kasus video porno jelas merupakan peringatan terhadap jajaran Kemendiknas untuk lebih inovatif dan kreatif dalam mendistribusi kebutuhan virtue terhadap setiap mata ajar yang dipelajari siswa di sekolah.

Dengan perkembangan teknologi informasi yang tak mungkin dibendung, jenis kebijakan tentang pendidikan melalui TV dan film tampaknya perlu dipikirkan dengan benar. Jika kita meyakini bahwa pendidikan merupakan sebuah cara paling kuat untuk mengubah struktur budaya masyarakat, kebutuhan untuk menggunakan media massa seperti TV, film, internet, dan surat kabar/majalah dalam rangka menjaga proses terjadinya transplantasi budaya secara benar adalah imperative. Selain itu, kebijakan tentang jenis tayangan yang salah akan mempercepat terjadinya proses inflitrasi budaya satu ke budaya lainnya secara intensif dan dapat menyebabkan terjadinya penghapusan budaya (cultural genocide) secara perlahan-lahan (Nandy: 2000).

1.2. Keruntuhan citra pendidikan

Jelas sekali beredarnya video porno artis merupakan tamparan hebat terhadap citra pendidikan di Tanah Air. Tak tahu di mana mereka dulu bersekolah, jika memang benar pelakunya adalah artis yang diduga ternama. Hal itu menunjukkan adanya sikap hidup hedonis dan rendahnya moralitas artis akibat pendidikan yang salah bisa jadi merupakan salah satu penyebab. Artis, melaui teknologi informasi, bukan saja menjadi faktor pendorong runtuhnya moralitas anak muda, melainkan sekaligus merupakan korban dari arus teknologi informasi yang tanpa kontrol. Meskipun kita telah memiliki undang-undang tentang pornografi dan teknologi informasi, paradigma perkembangan teknologi informasi dan kapitalisasi ekonomi dalam kebijakan tayangan televisi dan peredaran film jelas harus dicermati secara saksama oleh para pengambil kebijakan bidang pendidikan di Indonesia. Sebagai basis pendidikan massal paling efektif, tayangan televisi, film dan penggunaan internet memiliki peluang untuk mengubah tatanan budaya bangsa yang dikenal santun dan beradab ke arah yang kurang beradab dan tak mengenal tata krama. Dighe (2000) mengisyaratkan baik konten maupun rancangan program tayangan dalam bentuk film, video, dan musik bisa jadi merupakan manifestasi dan justifikasi superioritas budaya tertentu yang belum tentu semuanya baik.

Hasil riset menunjukkan dampak tayangan televisi, film, dan penyebaran video porno melalui internet juga menambah terjadinya praktik kekerasan, mistisisme, dan hura-hura ala sinetron. Bahkan jika semua fakultas psikologi di Indonesia mau dengan sukarela meriset kondisi mental siswa-siswi di sekolah, pastilah akan didapati banyak sekali anak usia sekolah yang mengalami depresi dan sakit jiwa. Bahkan dalam bahasa seorang sutradara Peter Weir, sebagai toxic culture, sebuah tayangan yang terlalu memamerkan kekerasan dan erotisme sangat tidak mendidik dan dapat menyebabkan kriminalitas di usia muda meningkat, egoisme tambah menjadi-jadi, bahkan juga dapat merusak lingkungan dan budaya sekolah ke arah yang tidak sehat (Bennet: 2000; Gidley: 2000). Ketika zaman televisi masih dimonopoli TVRI, mungkin peran pendidik (guru dan orang tua) tak terlalu berat dan melelahkan. Di samping jenis tayangan memang masih terbatas, bentuk tayangan juga masih mempertimbangkan aspek budaya lokal tiap daerah di Indonesia. Tayangan Si Unyil, drama Losmen, dan serial Aku Cinta Indonesia (ACI) begitu digemari dan menjadi rujukan para guru di sekolah dan orang tua di rumah.

Dapat dibayangkan betapa berat dan sulitnya para guru dan orang tua untuk berlomba kreativitas dengan tayangan elektronik ini. Karena itulah, beberapa hasil riset tentang kekhawatiran pengaruh tayangan berbasis teknologi informasi terhadap pendidikan merekomendasikan langkah-langkah metodologis proses belajar-mengajar agar menggunakan pendekatan holistik, pro-active social skills seperti resolusi konflik dan metode cooperative learning. Jika hal itu lalai dibangun, keruntuhan citra pendidikan di Indonesia akan semakin menjadi-jadi. tidak hanya kerusakan di bidang akademis, tetapi dalam waktu bersamaan juga terjadi kerusakan moral secara masif.

1.3. Memanfaatkan budaya populer

Adalah naif dan tidak mungkin rasanya menolak budaya populer dan trend setter gaya hidup serbahedonis yang setiap hari secara terbuka ditayangkan dalam bentuk film, musik, video, dan komik/majalah. Yang paling mungkin dilakukan adalah menghidupkan kesadaran kritis para pendidik untuk memaksimalkan bentuk-bentuk tayangan tersebut sebagai tools dalam proses belajar-mengajar. Keberanian untuk menggunakan berbagai macam jenis tayangan sebagai bahan ajar juga harus dikembangkan sedemikian rupa, bahkan termasuk mendiskusikan hal-hal yang tabu seperti masalah seks dan kekerasan. Harus kita yakini bahwa tayangan baik dalam bentuk film, video, musik, maupun komik atau fiksi terpilih dan pantas secara sadar harus mampu digunakan para guru dalam proses belajar-mengajar. Ada banyak film semisal Pay It Forward atau Freedom Writers yang layak diputar dan didiskusikan di ruang kelas dengan anak-anak kita yang sedang beranjak dewasa (tingkat menengah).

Sebagai salah satu bentuk pedagogis bergerak yang secara langsung dapat merefleksikan dunia nyata, film dapat merangsang siswa untuk mendiskusikan banyak sekali isu tentang ras, kelas, gender, kekerasan, dan orientasi seksual manusia. Karena itu, menggunakan film sebagai salah satu bahan ajar merupakan jawaban bagi para siswa yang menggemari budaya populer, tetapi dilakukan secara terbimbing di ruang kelas. Jika hal itu dilakukan, biasanya siswa akan terlihat berani untuk menganalisis isi film dari beragam perspektif, bahkan bisa jadi mereka memiliki pandangan-pandangan yang unik menurut pengalaman masing-masing. Diskusi film selalu merupakan cara yang efektif untuk melihat reaksi siswa dalam menyikapi sebuah peristiwa dan mengambil virtue yang secara kolektif biasanya akan lebih mudah dilakukan (Sealey: 2006).

Kebiasaan dan perilaku melarang para guru terhadap siswa untuk tak melihat film dan video sebenarnya lebih akan membuat siswa penasaran. Tetapi jika itu dilakukan secara bersama-sama dengan guru dan teman mereka, proses berpikir kritis pun akan terlatih. Yang paling baik adalah kemauan guru untuk melakukan browsing bersama siswanya dalam mencari film dan video pembelajaran melalui Youtube.com, misalnya. Jutaan film setiap hari dirilis ke dalam Youtube.com, tetapi jika hal itu diniatkan sekaligus digunakan untuk tujuan pembelajaran, bisa dipastikan anak-anak akan senang untuk berbagi perspektif. Apalagi jika guru lebih kreatif, jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter bahkan bisa dijadikan sebagai medium e-learning yang dikemas untuk pola belajar tak langsung atau jarak jauh (distance learning). Hanya, pertanyaannya, berapa banyak guru yang bisa dan mau memanfaatkan teknologi informasi sebagai bahan ajar?

Gardner (2007) mengingatkan para pendidik bahwa siswa perlu dibina dan dikembangkan untuk menghadapi arus besar teknologi informasi dengan multimodal literacy skills yang sangat krusial untuk kehidupan abad 21.

Karena itu, kemampuan guru dalam penguasaan teknologi informasi juga merupakan tuntutan yang tidak bisa dihindarkan dalam kebijakan pendidikan kita. Selain itu, dalam rangka mengimbangi budaya populer yang semakin menggila, sekolah perlu dilengkapi dengan perpustakaan digital yang mampu mengakses jutaan sumber belajar yang berserakan di dunia maya. Masalah baru yang muncul dan dihadapi otoritas pendidikan kita adalah mahalnya perangkat digital sekolah dan sulit dan lamanya melatih guru untuk melek teknologi informasi.

Belum lagi tantangan dari cara pandang tradisional yang masih menganggap teknologi informasi sebagai bentuk berhala baru dan karena itu, sedapat mungkin harus dihindari. Sikap mental guru/pendidik seperti itu malah tidak akan menguntungkan dunia pendidikan kita. Karena itu, dibutuhkan mentalitas dan kapasitas akademis guru yang selalu ingin belajar, terutama dalam membina sisi afektif dan psikomotorik siswa-siswi mereka. Apalagi saat ini juga berkembang sebuah pendekatan baru dalam mengajar yang diperkenalkan Susan M Drake dan Rebecca C Burns dalam buku Meeting Standards through Integrated Curriculum (2004), yaitu transdisciplinary approach. Transdisciplinary approach membutuhkan keterampilan guru yang luar biasa untuk memandang dan mengajarkan sebuah subjek berdasarkan tema, konsep, sekaligus keterampilan yang sesuai dengan kehidupan nyata dan minat siswa. [*]

BAB III

PENUTUP

1.1.KESIMPULAN

Kesimpulannya adalah Dengan perkembangan teknologi informasi yang tak mungkin dibendung, jenis kebijakan tentang pendidikan melalui TV dan film tampaknya perlu dipikirkan dengan benar. Jika kita meyakini bahwa pendidikan merupakan sebuah cara paling kuat untuk mengubah struktur budaya masyarakat, kebutuhan untuk menggunakan media massa seperti TV, film, internet, dan surat kabar/majalah dalam rangka menjaga proses terjadinya transplantasi budaya secara benar adalah imperative. beberapa hasil riset tentang kekhawatiran pengaruh tayangan berbasis teknologi informasi terhadap pendidikan merekomendasikan langkah-langkah metodologis proses belajar-mengajar agar menggunakan pendekatan holistik, pro-active social skills seperti resolusi konflik dan metode cooperative learning.

1.2.SARAN

Bagi masyarakat yang bekerja di bidang Teknologi informatika, harus lebih memperhatikan kebudayaan-kebudayaan di masyarakat yang sekarang sedang berkembang ini, terutama di kalangan media-media elektronik, seperti internet, dll. Walaupun tidah bias di tanggulangi, setidaknya memperhatikan hal-hal yang bersifat negatif ini.

DAFTAR PUSTAKA

http ://www.dapunta.com/teknologi-informasi-dan-citra-pendidikan.html




*tugas nomor 2 : permasalahan yang sedang update saat ini


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah swt atas segala nikmat dan karunia-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah saw, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Amin.

Atas kehendak Allah S.W.T penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah system politik Indonesia yaitu membuat makalah tentang sejarah komunis dalam politik Indonesia. Makalah ini dibuat bukan di maksudkan untuk menyebarkan ideology komunis namun hanya sebagai pembelajaran bersama dan mengapa komunis di larang di Indonesia.

Semoga karya tulis yang penulis buat dapat memberikan manfaat bagi pembaca yang baik, karya yang dibuat manusia sangat jelas mempunyai dan memiliki kekurangan dan kesalahan dengan ini penulis meminta sumbang saran agar dapat menyempurnakan karya tulis ini.

Wassalamualaikum

Jakarta, 14 Desember 2010


penulis


DAFTAR ISI

I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………………

1.2 Pembahasan masalah………………………………………………………………

II. Pembahasan

1.1. presidan dinilai tidak awasi penggunaan lambang garuda…………………..

III. Penutup

1.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………

1.2 Saran………………………………………………………………………….

Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Presiden SBY menjadi salah satu pihak yang digugat pengacara publik David Tobing terkait lambang negara Garuda Pancasila di kaos tim nasional sepakbola Indonesia. Presiden dinilai David tidak memberikan bentuk perhatian apapun terkait kerugian yang telah ditimbulkan akibat penggunaan lambang negara.

1.2.PEMBAHASAN MASALAH

Pengguagatan terhadap presiden mengenai sebuah lambang di kostum Indonesia yang menggambarkan lambang garuda, dan terkaitnya undang-undang terhadap kostum Indonesia yang melambangkan garuda tersebut

BAB II

PEMBAHASAN

1.1. DIGUGAT, PRESIDEN DINILAI TIDAK AWASI PENGGUNAAN LAMBANG GARUDA

Presiden SBY menjadi salah satu pihak yang digugat pengacara publik David Tobing terkait lambang negara Garuda Pancasila di kaos tim nasional sepakbola Indonesia. Presiden dinilai David tidak memberikan bentuk perhatian apapun terkait kerugian yang telah ditimbulkan akibat penggunaan lambang negara.

"Tergugat I (Presiden) dan II (Mendiknas) tidak pernah mengawasi perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan melibatkan penggunaan lambang negara," jelas David usai mendaftarkan gugatannya di PN Jakarta Pusat, Jl Gajah Mada, Selasa (14/12/2010).

David resmi melayangkan gugatan citizen law suit dengan nomor 551/PDT.G/2010/PN.JKT.PST. Selain Presiden SBY dan Mendiknas M Nuh, David juga menggugat Menpora Andi Mallarangeng, PSSI dan PT Nike Indonesia.

Menurut David, kaos tim nasional sepakbola Indonesia yang berlambang Garuda Pancasila itu melanggar Undang-Undang No 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Dalam gugatannya, David menggunakan dasar pasal 51, 52 dan 57.

Pasal 51 menyebutkan lambang negara wajib digunakan di: a. Dalam gedung, kantor atau ruang kelas satuan pendidikan; b. Luar gedung atau kantor; c. Lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara dan tambahan berita negara; d. Paspor, Ijazah dan dokumen resmi yang yang diterbitkan pemerintah; e. Uang logam dan uang kertas atau; f. Materai.

Pasal 52 menyebutkan lambang negara dapat digunakan: a. Sebagai cap atau kop surat jabatan; b. Sebagai cap dinas kantor; c. Pada kertas bermaterai; d. Pada surat dan lencana gelar pahlawan, tanda jasa dan tanda kehormatan; e. Sebagai lencana atau atribut pejabat negara, pejabat pemerintah atau warga negara Indonesia yang sedang mengemban tugas negara di luar negeri; f. Dalam penyelenggaraan peristiwa resmi; g. Dalam buku dan majalah yang diterbitkan pemerintah; h. Dalam buku kumpulan undang-undang dan atau; i. Dirumah warga negara Indonesia.

David mengatakan, penggunaan lambang Garuda jelas melanggar pasal 57 huruf yang menyebutkan setiap orang dilarang menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam undang-undang ini. Dia menjelaskan, penggunaan lambang negara yang dilakukan tergugat bukan hanya di kaos olahraga tetapi terdapat juga di jaket, kaos latihan dan lainnya.

"Penggunaan lambang negara yang dilakukan telah melanggar Undang-undang tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan," ujar David.

BAB III

PENUTUP

1.1. KESIMPULAN

Tergugat I (Presiden) dan II (Mendiknas) tidak pernah mengawasi perjanjian-perjanjian yang dibuat kan penggunaan lambang Negara. Kaos tim nasional sepakbola Indonesia yang berlambang Garuda Pancasila itu melanggar Undang-Undang No 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. penggunaan lambang Garuda jelas melanggar pasal 57 huruf yang menyebutkan setiap orang dilarang menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam undang-undang ini. Dia menjelaskan, penggunaan lambang negara yang dilakukan tergugat bukan hanya di kaos olahraga tetapi terdapat juga di jaket, kaos latihan dan lainnya.

1.2.SARAN

Bagaimana cara menanggulangi masalah tersebut, apakah timnas Indonesia akan mengubah kostum kebanggaannya ini, dengan kostum yang memenuhi persyaratannya tersebut

DAFTAR PUSTAKA

http://www.detiknews.com/read/2010/12/14/171545/1524655/10/digugat-presiden-dinilai-tidak- awasi-penggunaan-lambang-garuda?9911022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar